Ilmu Budaya Dasar berasal dari bahasa inggris The Humanities, yaitu istilah latin humanus, yang berati manusiawi, berbudaya, dan halus.hal ini tentunya sangat baik jika kita pelajari, karena kita akan mendapatkan ciri dari manusia yang baik dalam bermasyarakat.
Orientasi the Humanities adalah ilmu : dengan mempelajari satu atau sebagian dari disiplin ilmu yang tercantum dalam the humanities, kita dapat menjadi Homo Humanus yang lebih baik.
Sastra juga didukung oleh cerita. Dengan cerita orang akan lebih tertarik, dan dengan cerita orang lebih mudah mengemukakan gagasan – gagasannya dalam bentuk yang tidak normative.
Sastra yang ada Di Indonesia
1. Sastra Lisan
Sastra lisan berkembang di daerah perdesaan dalam bentuk cerita tutur. Fungsi jenis sastra ini adalah sebagai afirmasi sistem kepercayaan setiap suku di Indonesia. Kita menyebutnya sebagai mitos. Setiap sistem kepercayaan mana pun memiliki mitos-mitosnya sendiri. Inilah semacam “kita suci” mereka. Mitos-mitos asal-usul dunia (suku) dan manusia (suku) di berbagai daerah di Indonesia belum pernah kita kumpulkan.
Sastra lisan yang terkenal sampai abad 20 adalah pantun Sunda. Pantun adalah cerita tutur yang diiringi petikan kecapi semalam suntuk. Cerita pantung Lutung Kasarung, Mundinglaya Dikusumah, Nyi Sumur Bandung, Ciung Wanara, Panggung Karaton, untuk waktu yang lama ikut membentuk tata nilai etik masyarakat Sunda. Cerita pantun fungsinya mirip dengan wayang kulit di Jawa. Wayang membentuk peradaban Jawa.
2. Sastra Tulis Peradaban Hindu-Indonesia
Bangsa Indonesia memasuki zaman literer pada abad-abad awal milineum pertama, yakni ketika lembaga-lembaga kerajaan bermunculan di berbagai wilayah suku Indonesia. Berkembangnya sastra tertulis Hinduistik-Budistik di Indonesia berlangsung dari abad 9 sampai 16. Seperti sastra lisan etnik sebelumnya, jenis sastra ini juga mitologis, bagian dari kebudayaan-agama atau kepercayaan. Jenis sastra ini masih hidup di Bali dan menjadi pedoman etik masyarakatnya.
Sastra mitologis ini, seperti halnya sastra lisan, adalah untuk “dipertunjukkan” atau didengarkan, sehingga tidak mengherankan apabila banyak yang berbentuk puisi. Fungsi sastra ini adalah menghadirkan daya-daya transenden bagi berbagai kepentingan hidup sehari-hari mereka. Barang siapa membaca dan mendengarkan sampai selesai akan mendapatkan berkah. Karena dipercayai sebagai pembawa berkah, maka karya-karya sastra itu dinilai sakral juga. Dan karena sakral maka semua yang diceritakan di dalamnya mengandung kebenaran-kebenaran yang dijadikan pedoman membangun peradaban bersama.
3. Sastra dan Peradaban Islam Indonesia
Indonesia memiliki warisan sastra Islam yang amat kaya, namun sedikit sekali kajian atas jenis sastra ini, baik di zaman kolonial maupun setelah kemerdekaan. Karya-karya sastra Islam ini dapat menguak peradaban Islam Indonesia yang sudah berlangsung lebih dari 500 tahun.
Peradaban Islam Indonesia tidak mungkin difahami tanpa mempelajari karya-karya sastra ini. Ini menunjukkan bahwa sastra Islam membentuk peradaban Islam Indonesia.
4. Sastra Modern Zaman Kolonial
Sastra sebagai mitos (dasar kepercayaan imani) berlangsung sejak sastra lisan primordial sampai zaman Hindu, bahkan juga masih nampak pada zama Islam di Indonesia. Sastra Islam dibaca atau dipertunjukkan untuk menghadirkan daya-daya transenden. Sastra ini berkembang di kalangan rakayt perdesaan dan pusat-pusat kerajaan.
Sastra modern Indonesia berkembang di wilayah perkotaan, terutama kota-kota maritim, karena kekuasaan kolonial dimulai di wilayah-wilayah tersebut. Meskipun kolonialisme telah berkembang dalam abad 17 namun peradaban modern baru menampakkan dirinya dalam abad 19, yaitu dengan munculnya pendidikan modern Barat dan berkembangnya pers pribumi.
Peradaban mencolok dua peradaban, yakni peradaban mitologis dan peradaban modern, adalah bahwa peradaban mitis berkembang dalam masyarakat yang homogen, etnik, sakral, sedangkan peradaban modern Indonesia berkembang di masyarakat yang heterogen, nasional, profan, Fungsi sastra dalam membentuk peradaban juga heterogen. Dahulu sastra Jawa membentuk peradaban Jawa, begitu pula sastra Sunda, Melayu, Bali dan lain-lain. Dalam peradaban modern, sastra dan seni modern umumnya, hanya merupakan salah satu unsur permbentuk peradaban, disamping ilmu pengetahun, teknologi, filsafat, bahkan agama.
Sastra sebagai pembentuk peradaban, mengisyaratkan adanya relasi nilai antara karya sastra dan masyarakatnya. Alam pikiran dan tata nilai dalam sastra dibutuhkan untuk pedoman hidup bersama mereka. Dalam masyarakat yang homogen, kelompok etnik, peran sastra yang demikian itu amat signifikan, tetapi dalam masyarakat modern perkotaan yang heterogen, kebutuhan tata nilai dapat berbeda-beda untuk setiap kelompok sosialnya. Kalau dalam masyarakat pra-modern hanya dibutuhkan satu jenis sastra, dalam masyarakat modern dibutuhkan banyak jenis sastra.
Apa yang disebut sastra modern ini dapat digolongkan dalam dua sisi, yakni sastra modernyang berkembang dalam wilayah etnik, seperti sastra Jawa modern, sastra Bali modern, sastra Sunda modern, dan sastra modern yang menggunakan bahasa Indonesia modern. Tidak mengherankan apabila terdapat beberapa sastrawan yang dwibahasa. Ia menulis sastra modern dalam bahasa ibunya, tetapi juga menulis sastra modern dalam bahasa nasional. Apakah terdapat perbedaan sikap dalam alam pikiran dan tata nilainya antara karya-karyanya yang modern-etnik dan modern nasional, belum ada kajiannya.
Kalau sastra etnik zaman Hindu dan Islam berorientasi pada peradaban India dan Timur Tengah, sastra modern etnik maupun nasional berorientasi pada sastra Barat yang mulai berkembang di zaman kolonial. Pada abad 19 dan awal abad 20 banyak disadur atau diterjemahkan karya-karya sastra Barat di Indonesia. Sastra Barat ini memenuhi kebutuhan nilai masyarakat modern perkotaannya.
Pendidikan Belanda yang mengacu pada sistem pendidikan Eropa, memandang penting sastra bagi pembentukan peradaban modern. Tidak ada kaum terpelajar didikan kolonial yang tidak kenal sastra. Sastra dalam peradaban modern Barat dipandang sama pentingnya dengan sastra Indonesia di zaman peradaban mitologisnya. Dalam pendidikan kaum elit kekuasaan pra-modern Indonesia, kurikulum sastra adalah kewajiban, disamping agama, ilmu pemerintahan dan perang atau silat. Di masyarakat Sunda, misalnya, kurikulum pendidikan kaum menak atau bangsawan terdiri dari ngaji (agama), mamaos (sastra) dan maenpo (silat).
Kita belum pernah meneliti kurikulum dan silabus sastra modern apa saja yang diwajibkan bagi siswa-siswa tingkat menengah zaman kolonial. Kita hanya mengetahui bahwa kaum intelektual Indonesia yang dibesarkan di zaman kolonial amat akrab dengan sastra, seperti Syahrir dan Soekarno.
5. Sastra Indonesia Setelah Kemerdekaan
Peran sastra modern Indonesia dalam pembentukan peradaban modern Indonesia setelah kemerdekaan amat beragam. Tradisi sastra dalam peradaban primordial, Hindu, Islam di zaman kemerdekaan masih ada pendukungnya di masyarakat perdesaan, seperti terlihat dari pembacaan wawacan di Sunda. Tetapi tradisi sastra modern zaman kolonial mulai merosot pendukungnya. Karya-karya sastra tidak lagi menjadi kebutuhan kaum elit terpelajarnya, tetapi menyempit hanya pada mereka yang berminat pada sastra saja, biasanya calon-calon sastrawan.
Kebutuhan sastra tentu masih tetap dibutuhkan oleh masyarakat modern Indonesia, terutama kaum terpelajarnya yang jumlahnya mencapai 20 persen jumlah penduduk. Namun jenis sastranya adalah sastra afirmasi yang mendukung dan memperkuat peradaban yang ada, jadi bukan evaluasi kritis terhadap peradaban. Itulah sebabnya jenis sastra laku keras di masyarakat. Fungsi sastra demikian itu mengingatkan pada peran sastra pra-modern Indonesia yang agamawi. Karya sastra dibaca untuk memperteguh tata nilai sosal yang sudah ada.
Sastra lisan berkembang di daerah perdesaan dalam bentuk cerita tutur. Fungsi jenis sastra ini adalah sebagai afirmasi sistem kepercayaan setiap suku di Indonesia. Kita menyebutnya sebagai mitos. Setiap sistem kepercayaan mana pun memiliki mitos-mitosnya sendiri. Inilah semacam “kita suci” mereka. Mitos-mitos asal-usul dunia (suku) dan manusia (suku) di berbagai daerah di Indonesia belum pernah kita kumpulkan.
Sastra lisan yang terkenal sampai abad 20 adalah pantun Sunda. Pantun adalah cerita tutur yang diiringi petikan kecapi semalam suntuk. Cerita pantung Lutung Kasarung, Mundinglaya Dikusumah, Nyi Sumur Bandung, Ciung Wanara, Panggung Karaton, untuk waktu yang lama ikut membentuk tata nilai etik masyarakat Sunda. Cerita pantun fungsinya mirip dengan wayang kulit di Jawa. Wayang membentuk peradaban Jawa.
2. Sastra Tulis Peradaban Hindu-Indonesia
Bangsa Indonesia memasuki zaman literer pada abad-abad awal milineum pertama, yakni ketika lembaga-lembaga kerajaan bermunculan di berbagai wilayah suku Indonesia. Berkembangnya sastra tertulis Hinduistik-Budistik di Indonesia berlangsung dari abad 9 sampai 16. Seperti sastra lisan etnik sebelumnya, jenis sastra ini juga mitologis, bagian dari kebudayaan-agama atau kepercayaan. Jenis sastra ini masih hidup di Bali dan menjadi pedoman etik masyarakatnya.
Sastra mitologis ini, seperti halnya sastra lisan, adalah untuk “dipertunjukkan” atau didengarkan, sehingga tidak mengherankan apabila banyak yang berbentuk puisi. Fungsi sastra ini adalah menghadirkan daya-daya transenden bagi berbagai kepentingan hidup sehari-hari mereka. Barang siapa membaca dan mendengarkan sampai selesai akan mendapatkan berkah. Karena dipercayai sebagai pembawa berkah, maka karya-karya sastra itu dinilai sakral juga. Dan karena sakral maka semua yang diceritakan di dalamnya mengandung kebenaran-kebenaran yang dijadikan pedoman membangun peradaban bersama.
3. Sastra dan Peradaban Islam Indonesia
Indonesia memiliki warisan sastra Islam yang amat kaya, namun sedikit sekali kajian atas jenis sastra ini, baik di zaman kolonial maupun setelah kemerdekaan. Karya-karya sastra Islam ini dapat menguak peradaban Islam Indonesia yang sudah berlangsung lebih dari 500 tahun.
Peradaban Islam Indonesia tidak mungkin difahami tanpa mempelajari karya-karya sastra ini. Ini menunjukkan bahwa sastra Islam membentuk peradaban Islam Indonesia.
4. Sastra Modern Zaman Kolonial
Sastra sebagai mitos (dasar kepercayaan imani) berlangsung sejak sastra lisan primordial sampai zaman Hindu, bahkan juga masih nampak pada zama Islam di Indonesia. Sastra Islam dibaca atau dipertunjukkan untuk menghadirkan daya-daya transenden. Sastra ini berkembang di kalangan rakayt perdesaan dan pusat-pusat kerajaan.
Sastra modern Indonesia berkembang di wilayah perkotaan, terutama kota-kota maritim, karena kekuasaan kolonial dimulai di wilayah-wilayah tersebut. Meskipun kolonialisme telah berkembang dalam abad 17 namun peradaban modern baru menampakkan dirinya dalam abad 19, yaitu dengan munculnya pendidikan modern Barat dan berkembangnya pers pribumi.
Peradaban mencolok dua peradaban, yakni peradaban mitologis dan peradaban modern, adalah bahwa peradaban mitis berkembang dalam masyarakat yang homogen, etnik, sakral, sedangkan peradaban modern Indonesia berkembang di masyarakat yang heterogen, nasional, profan, Fungsi sastra dalam membentuk peradaban juga heterogen. Dahulu sastra Jawa membentuk peradaban Jawa, begitu pula sastra Sunda, Melayu, Bali dan lain-lain. Dalam peradaban modern, sastra dan seni modern umumnya, hanya merupakan salah satu unsur permbentuk peradaban, disamping ilmu pengetahun, teknologi, filsafat, bahkan agama.
Sastra sebagai pembentuk peradaban, mengisyaratkan adanya relasi nilai antara karya sastra dan masyarakatnya. Alam pikiran dan tata nilai dalam sastra dibutuhkan untuk pedoman hidup bersama mereka. Dalam masyarakat yang homogen, kelompok etnik, peran sastra yang demikian itu amat signifikan, tetapi dalam masyarakat modern perkotaan yang heterogen, kebutuhan tata nilai dapat berbeda-beda untuk setiap kelompok sosialnya. Kalau dalam masyarakat pra-modern hanya dibutuhkan satu jenis sastra, dalam masyarakat modern dibutuhkan banyak jenis sastra.
Apa yang disebut sastra modern ini dapat digolongkan dalam dua sisi, yakni sastra modernyang berkembang dalam wilayah etnik, seperti sastra Jawa modern, sastra Bali modern, sastra Sunda modern, dan sastra modern yang menggunakan bahasa Indonesia modern. Tidak mengherankan apabila terdapat beberapa sastrawan yang dwibahasa. Ia menulis sastra modern dalam bahasa ibunya, tetapi juga menulis sastra modern dalam bahasa nasional. Apakah terdapat perbedaan sikap dalam alam pikiran dan tata nilainya antara karya-karyanya yang modern-etnik dan modern nasional, belum ada kajiannya.
Kalau sastra etnik zaman Hindu dan Islam berorientasi pada peradaban India dan Timur Tengah, sastra modern etnik maupun nasional berorientasi pada sastra Barat yang mulai berkembang di zaman kolonial. Pada abad 19 dan awal abad 20 banyak disadur atau diterjemahkan karya-karya sastra Barat di Indonesia. Sastra Barat ini memenuhi kebutuhan nilai masyarakat modern perkotaannya.
Pendidikan Belanda yang mengacu pada sistem pendidikan Eropa, memandang penting sastra bagi pembentukan peradaban modern. Tidak ada kaum terpelajar didikan kolonial yang tidak kenal sastra. Sastra dalam peradaban modern Barat dipandang sama pentingnya dengan sastra Indonesia di zaman peradaban mitologisnya. Dalam pendidikan kaum elit kekuasaan pra-modern Indonesia, kurikulum sastra adalah kewajiban, disamping agama, ilmu pemerintahan dan perang atau silat. Di masyarakat Sunda, misalnya, kurikulum pendidikan kaum menak atau bangsawan terdiri dari ngaji (agama), mamaos (sastra) dan maenpo (silat).
Kita belum pernah meneliti kurikulum dan silabus sastra modern apa saja yang diwajibkan bagi siswa-siswa tingkat menengah zaman kolonial. Kita hanya mengetahui bahwa kaum intelektual Indonesia yang dibesarkan di zaman kolonial amat akrab dengan sastra, seperti Syahrir dan Soekarno.
5. Sastra Indonesia Setelah Kemerdekaan
Peran sastra modern Indonesia dalam pembentukan peradaban modern Indonesia setelah kemerdekaan amat beragam. Tradisi sastra dalam peradaban primordial, Hindu, Islam di zaman kemerdekaan masih ada pendukungnya di masyarakat perdesaan, seperti terlihat dari pembacaan wawacan di Sunda. Tetapi tradisi sastra modern zaman kolonial mulai merosot pendukungnya. Karya-karya sastra tidak lagi menjadi kebutuhan kaum elit terpelajarnya, tetapi menyempit hanya pada mereka yang berminat pada sastra saja, biasanya calon-calon sastrawan.
Kebutuhan sastra tentu masih tetap dibutuhkan oleh masyarakat modern Indonesia, terutama kaum terpelajarnya yang jumlahnya mencapai 20 persen jumlah penduduk. Namun jenis sastranya adalah sastra afirmasi yang mendukung dan memperkuat peradaban yang ada, jadi bukan evaluasi kritis terhadap peradaban. Itulah sebabnya jenis sastra laku keras di masyarakat. Fungsi sastra demikian itu mengingatkan pada peran sastra pra-modern Indonesia yang agamawi. Karya sastra dibaca untuk memperteguh tata nilai sosal yang sudah ada.